Sabtu, 03 Januari 2015

Curhatan Kehidupanku (Cerpen)


 
Inilah cerpen pertamaku, Sebenarnya tugas dari guru B.Indonesia. Ibu Nani Janipah,S.Pd saat aku kelas 2 SMA. Semoga karyaku ini bagus yah.. :) (terinspirasi dari tetanggaku di Kec. Cihara Kab. Lebak-Banten)


Pagi ini Aku bangun seperti biasanya, jam 5 subuh. Kulihat istriku juga sudah bangun dan meyiapkan barang-barang keperluannya dan langsung ke tempat ia berjualan. Adapun ketiga anakku masih begitu terlelap di tempat tidurnya. Anakku yang pertama adalah siswa di Madrasah Aliyah, anakku yang kedua adalah siswa kelas 5 SD dan sibungsu belum sekolah, mungkin tahun depan.
Tak pikir panjang, Aku langsung mengeluarkan sepeda motor kreditku dan pergi menjemput langganan ojegku. Dia adalah tetanggaku, seorang pedagang sayur keliling yang sering kami sebut si Emak. Ketika hendak berangkat, istriku berteriak,
“pak, jangan lupa beli sayuran seperti biasa, buat bikin gorengan, oh iya jangan lupa juga beli bakso ya.” Teriaknya.
Aku hanya mengangguk dan langsung pergi.
Istriku adalah seorang pedagang nasi uduk, mie bakso dan gorengan yang sering mangkal di depan sebuah SMP Satap di desaku, desa Ciparahu. Desa terpencil bagian dari Kecamatan Cihara, Kabupaten Lebak.
            Hari ini adalah hari Senin, seperti biasa pasar Senin Sukahujan di desa tetangga ramai dikunjungi orang, pasar ini sudah buka sejak pagi buta, bahkan pada malam Seninnya sudah ramai dengan pedagang. Karena hanya buka pada hari Senin, tidak banyak pedagang langgananku dan juga si Emak, kami hanya mampir sejenak dan membeli beberapa keperluan dagang si Emak. Selanjutnya kami menuju pasar yang lebih ramai dan buka setiap hari yaitu pasar yang ada di Malingping. Walaupun jarak dari desa kami lumayan jauh, tapi di sini lebih lengkap dan sudah banyak pedagang yang kami kenal, bahkan ada diantaranya adalah saudaraku.
            Setelah sampai disana, Aku parkir sepeda motorku di pinggir pasar tumpah di sana. Aku dan Emak berpisah, kami mulai mencari barang yang kami butuhkan. Karena istriku adalah pedagang nasi uduk dan gorengan, barang yang kubeli adalah satu pak bakso, minyak curah, tepung terigu, tepung tapioka untuk campuran tepung terigu agar rasa gorengan lebih renyah dan kemeriuk, toge, wortel, kubis, daun bawang, dan tentu saja tahu dan tempe.
            Ini dia masalahnya, dari tadi Aku berkeliling ke semua pedagang, ternyata harganya makin naik saja. Sementara itu, modal kami hanya segitu saja tidak bertambah. Duh, kumaha ieu? Semua barang harganya mahal. Aku bingung, kalau Aku beli semuanya, uang yang Aku bawa tidak cukup. Kalau Aku tidak beli, istriku mau jualan apa? Kuring lieur tujuh kuliling.
            Lelah berkeliling yang tidak mendapat hasil apapun, Aku mampir ke tempat sayuran milik Ibu Haji, pedagang langgananku.
“Assalamualaikum, Bu Haji..” Aku menyapa.
 “Wa’alaikumsalam….. hey, tumben sekali kok tangannya masih kosong?” Tanya Bu Haji sambil melayani pembeli.
“Saya bingung nih Bu Haji, saya berkeliling ke semua pedagang sayuran, semua harganya naik. Modal saya pas-pasan, tetep aja segitu. Kalau beli, uangnya gak cukup. Kalau gak beli, istriku mau jualan apa?” Jelasku panjang lebar.
“Yang sabar aja lah, zaman sekarang tuh emang begini. Kau gak usah kaget.”
“ Iya Bu Haji, ya udah saya beli sayurannya, tapi setengah aja ya.” Pintaku
            Belanja yang kurang memuaskan pun usai, Aku langsung ke tempat parkir dan menunggu si Emak selesai berbelanja. Di sana Aku membayangkan betapa susahnya sekarang ini, beda sekali dari 10 tahun yang lalu saat Aku dan istriku masih jadi petani. Akupun jadi teringat percakapanku dua hari yang lalu, harga semua barang naik terus karena harga minyak dunia makin mahal, begitu kata Pak Sobar, guru SMP tempat istriku berjualan. Katanya lagi bahan makanan ikut-ikutan mahal karena pengaruh minyak dunia dan juga karena global warming. Katanya sekarang lingkungan hidup makin kacau, karena itu tanaman pangan pun kena akibatnya. Kan sekarang lagi populer global warming. Katanya lagi segala bencana yang terjadi di muka bumi ini gara-gara satu kata asing itu. Dan yang jelas semuanya itu ulah manusia begitu katanya. Kalau global warming ya itu sih tak begitu kupahami, tetapi kalau kekacauan ini ulah manusia, Aku setuju sekali.
            Menunggu si Emak dengan lamunan-lamunanku yang mengembara adalah hal yang cukup menyenangkan. Tapi, tiba-tiba saja
“Hey… kau kenapa? Melamun begitu? Adakah yang kau pikirkan?” Sahabat lamaku datang dan menepuk pundakku.
“Heyy… Kau bikin kaget saja.” Sambil bersalaman.
“Kenapa sahabatku ini? Hah? Ayo cerita..”
“Biasa lah, masalah ekonomi. Harga-harga makin naik aja, Aku bingung gimana nasib istri dan ketiga anakku.”
“yaaah,, bukan hanya kau yang bingung, Aku bahkan semua orang miskin yang ada di Indonesia juga merasakan hal yang sama.”
            Saat hangat-hangatnya berbincang, tiba-tiba Si Emak datang dan menyuruhku mengangkat barang belanjaannya. Sahabatku yang melihatku mengangkat barang banyak datang  membantuku. Setelah semua siap Aku dan Si Emak pun pulang.
“Aku pulang dulu ya, sampai ketemu besok, sampaikan salamku untuk istri dan anakmu.” Aku berpamitan ke sahabatku.
            Aku dan Si Emak pun pulang dengan perasaan sejuta warna terlukis di benakku. Aku membayangkan wajah istriku nanti, Aku membayangkan anak pertamaku yang meminta uang SPP sekolah nanti, Aku membayangkan anak keduaku yang meminta uang jajan dan uang bukunya nanti, Aku membayangkan si bungsu yang sering merengek meminta jajanan yang aneh-aneh, dan yang lebih menyeramkan adalah hutang-hutangku yang menumpuk di Koperasi Simpan Pinjam yang ada di desaku.
            Motorku terus melaju dan tak terasa Aku sampai di tujuan, dari kejauhan kulihat istriku yang tengah melayani pembeli, biasanya anak sekolah dan guru-guru yang belum sempat sarapan di rumahnya, dan kulihat juga anak keduaku sedang membantu ibunya. Aku antar dulu Si Emak ke rumahnya yang tidak jauh dari situ. Setelah ku antar, dengan perasaan dan kaki yang gemetar Aku datang ke warung istriku. Belum sempat Aku turun dan mematikan mesin motor, istriku langsung bertanya.
“Pak mana sayuran dan baksonya, dari tadi banyak yang minta gorengan.” Tanya istriku dengan nada yang sedikit tinggi sambil melayani pembeli.
Aku tak menjawab, ku hampiri dulu istriku dan langsung bicara.
“Ini.. tapi cuma sedikit, harganya melonjak semua.”
“Hhmmmm… ya sudahlah Pak.” Pasrah sekali istriku menjawab.
            Tiba-tiba saja wajah istriku layu, hampura atu neng, abang teu bisa kukumaha. Menurutku dia adalah istri yang sangat pengertian, tak pernah sekalipun mengeluh dan menerima semua keadaan dengan ikhlas.
“Pak, minta uang, Neng mau berangkat sekolah, oh iya Pak, uang bukunya juga.” Anak keduaku meminta uang dengan wajah dan nada yang sangat polos.
Aku sungguh tak kuasa melihat paras wajahnya. Belum sempat Aku menjawab pertanyaan anak keduaku, si bungsu pun sudah merengek minta uang.
“Pak, neng juga minta uang, neng pengen beli boneka yang di abang Salim itu. Boneka Barbie itu pak. Pak mana uangnya pak.”
            Bagai petir disiang bolong, Aku harus jawab apa kepada anak-anakku ini?  Aku ingat ada uang lima belas ribu rupiah, ongkos dari Si Emak. Aku ambil dan kuberikan uang dua ribu ke anak keduaku.
 “ini uang jajan buat neng, ua ng bukunya besok aja ya, Bapa belum punya uang yang cukup.” Aku memberikan uangnya, terlihat wajah murung dari anak keduaku ini. Aku mengerti posisi dia, pasti dia sering ditagih oleh gurunya.
“neng, beli bonekanya besok aja ya, sekalian Bapa nganter Si Emak belanja, hari ini uangnya gak cukup.” Aku merayu si bungsu.
“Iih.. Bapa pelit. Bu, Bapa gak mau beliin neng boneka.” Mengadu ke istriku sambil menangis.
“kasih aja lah Pak, Ibu pusing Pak, dengar dia nangis terus, cuma lima ribu doang kan?” Istrinya menjawab dengan tetap melayani pembeli.
“Ya sudahlah, nih..” Aku memberikan uang kepada si bungsu.
“Horeee……..” si bungsu berteriak girang.
            Sisa uang yang kupunya delapan ribu rupiah lagi, yaahh… Cuma cukup untuk beli satu liter bensin buat Aku narik hari ini. Terima sajalah, nasib kuring teh keur teu endah poe ieu.
“Bu, Bapa mau ngojeg dulu.” Aku berpamitan ke istriku.
“Iya Pa, hati-hati.” Masih saja dia sibuk dengan pelanggan-pelanggannya.
            Semoga dagangan istriku laku semua, dan semoga mendapat keuntungan besar, yaa minimal balik modal. Istriku adalah orang jujur walaupun harga barang naik, dia tidak pernah berlAku curang untuk mendapat keuntungan besar seperti yang sering kulihat di berita televisi tentang pedagang gorengan yang curang. Intinya dia adalah pedagang yang paling kukagumi.
            Aku pun berangkat, di perjalanan menuju pangkalan ojeg, Aku sedikit melamun. Aku membayangkan bagaimana jika dagangan istriku bangkrut gara-gara harga yang semakin melambung. Bukan hanya keluargaku yang sedih tapi seluruh pelanggan-pelanggan setia istriku. Kenapa? Karena semua orang butuh dagangan istriku, anak-anak sekolah dan para guru, yang belum sempat sarapan di rumah, pastinya sarapan di warung istriku. Juga semua golongan yang ada di kampungku, orang kaya, orang miskin hampir tidak ada yang tidak suka gorengan. Intinya tukang gorengan dan uduk seperti istriku sangat diperlukan. Tapi, kalau istriku gulung tikar? Huuhh nasib-nasib.
            Lamunanku buyar, saat kulihat pangkalan ojeg. Di sinilah tempat Aku mangkal.
“Hey.. tumben kau datang telat?” temanku yang juga tukang ojeg bertanya.
 “yaah gini lah. Udah dapat pelanggan berapa kau hari ini?” Aku bertanya.
“Ah.. sepi. Kayanya udah ga ada yang butuh tukang ojeg.” Balasnya.
            Aku hanya membalas dengan senyuman dan langsung duduk. Sisa uangku hanya dua ribu rupiah. Perutku keroncongan, Aku lupa tidak minta nasi uduk ke istriku, uangku tak cukup. Yaahh… nunggu sampai siang saja lah.. Aku pasti kuat.
            Sudah jam sepuluh, Aku baru dapat satu penumpang.  Ibu-ibu kamana atuh? Biasana rame pisan.
            Satu jam dua jam tak ada lagi penumpang, perutku makin tak menentu, ingin diberi makan. Sudahlah, kuputuskan untuk pulang.
            Sesampai di saung istriku, tak kulihat ia. Mengapa istriku sudah tutup? Tak pikir panjang Aku pulang. Ku simpan motorku di depan rumah, Aku berjalan agak ragu, perasaanku sudah tak enak.Bismillah…
“Assalamualaikum…” Aku memberi salam dan langsung masuk.
            Tak ada yang menjawab salamku. Kulihat istriku tengah tertidur pulas di ruang tengah sedangkan si bungsu mungkin tengah main dengan anak tetangga. Terlihat, peluh begitu lekat di dahinya dan juga barang-barang bekas dagangan yang masih tergeletak di sampingnya. Aku angkat semua barang-barangnya ke dapur, sepertinya dagangannya habis. Kira-kira, masih ada sisa uduk tidak ya? Aku lapar. Yaaahh… uduknya sudah habis semua. Eh, ada gorengan. Tapi hanya satu, sudahlah.. tak apa, yang penting perutku terisi.
            Mendengar suara berisik di dapur, istriku terbangun.
“Bapa… bapa udah pulang?” istriku bertanya.
“Eh, Ibu.. iya bu. Cuma dapat penumpang satu orang bu, huff.. mungkin hari ini belum rejekinya bu.”
“Iya pa, tenang saja lah, hari esok juga masih ada.” Istriku memberi semangat.
“Iya bu. Gimana dagangnya hari ini. Sepertinya laku keras ya?”
“Laku si pak. Tapi sepertinya modalpun ga balik pa.”
“Sabar aja bu, sepertinya memang rejeki kita tidak datang hari ini Bu. Ibu kan tadi bilang, masih ada hari esok. Ikhlas saja lah bu. Yang penting kita sudah berusaha.” Aku bicara dengan yakinnya.
“Iya Pa. Bapa sudah makan?” Dia bertanya.
“Sudah bu.”
Iya bu, Bapa sudah makan, makan sepotong gorengan sisa dagangan Ibu. Walaupun Bapa masih lapar, Bapa masih bisa menahan Bu. Walaupun ada sedikit makanan di lemari dapur, Bapa masih ingat ketiga anak kita yang belum makan Bu. Walaupun hari ini rejeki kita masih di langit, tapi Bapa tidak akan pernah mengeluh, Bapa masih ingat perkataan Ibu, masih ada hari esok.
“Ibu mau tidur lagi?” Aku bertanya.
“Ah tidak Pa.” Dia menjawab dengan lembutnya.
“Kalo gitu, kita shalat Dzuhur berjamaah yu..”
“Ayo.”
Aku dan istriku mengambil wudhu dan shalat berjamaah. Setelah shalat Aku dan istriku bercumbu dengan doa masing-masing. Aku tak melirik ke belakang untuk melihat istriku, Aku malu dengan wajahku yang bergelimangan air mata.
Allah ku yang Maha Pemberi, mudahkanlah cara kami untuk menurunkan rizki-Mu yang masih tergantung di langit. Tegarkanlah hatiku untuk terus berusaha di jalan-Mu. Gusti Allah, Yang Maha Murah, segala barang di pasar tak ada yang murah. Harga tak bersahabat lagi Ya Allah, Engkau yang menciptakan alam raya yang kaya raya. Bantulah kami untuk bertahan dalam situasi sulit seperti ini. Untuk memperjuangkan hidup yang sudah Engkau beri, meski semua barang harganya mahal, tapi biarlah iman kami tetap kuat. Dagangan istriku tetap bisa laku dan ojegku tetap ramai, agar kami bisa melanjutkan kehidupan kami.
Ingatkan kami untuk selalu memelihara iman di antara harga tepung, minyak goreng, sayuran, dan toge yang kian naik. Engkau memahami kesusahan ini. Mohon kekuatanmu supaya kami bisa melalui ini semua dengan sesantiasa mengucap syukur. Biarlah harapan menjadi kekuatan bagi kami untuk senantiasa berjuang dengan penuh semangat. Amin.
Dalam diam dan tanganku yang terkatup Aku melebur bersama semesta dan semenanjung pantai yang terbentang untuk sampai kepada yang Maha Tinggi melepaskan segala beban. Doaku mengambang dalam udara yang beraroma pengap,  menembusnya dan menggelepar untuk  sampai pada tujuanya. Aku duduk, meski dalam pengap, aku selalu punya harapan untuk bisa melalui satu hari saja tanpa rasa khawatir. Hari esok masih ada, begitulah kata istriku. Aku tak perlu risau, karena risau tak menyelesaikan kesusahan.

-Ana Samrotul-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar