Pasangan Saija Adinda ini nantinya akan menjadi duta pariwisata Kab. Lebak yang akan mempromosikan kebudayaan dan pariwisata di Kab. Lebak ke dunia luar.
Peserta yang mengikuti seleksi saija adinda ini berusia setara SMA sampai sekitar berusia 20 tahun. Boleh perwakilan sekolah atau juga mendaftar secara pribadi.
Siapa sih Saija dan Adinda?? Mengapa dijadikan sosok yang disorot pentinga bagi Kab.Lebak?
Max Havelaar atau yang disebut dengan Multatuli menerangkan kisah Saija dan Adinda ini dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar.
Dia menuliskan kisah Saijah dan Adinda, salah satu bab yang membuka mata Eropa tahun 1860 betapa buruk sistem kolonial dan kemiskinan di Banten.
Periode tanam paksa yang digulirkan sejak tahun 1830 mencekik rakyat Banten. Penderitaan rakyat Banten ditambah polah adipati Lebak dan Demang Parangkujang yang sungguh memuakkan. Petani dibebani pajak tinggi. Mereka juga merampas ternak dan hasil bumi milik rakyat seenaknya. Para penguasa yang membuat hukum berdasarkan aturan mereka sendiri.
Para birokrat pribumi, adalah kuku kekuasaan kolonial di Banten. Lewat para penguasa pribumi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaan mereka di tanah jajahan.
Eduard Douwes Dekker membuka kisah itu dengan menggambarkan penderitaan petani Banten. Tentang Saijah kecil yang menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Sayangnya kebahagiaan itu tak lama.
Berkali-kali kerbau milik Saijah diambil paksa oleh Begundal-begundal suruhan Bupati Lebak dan Demang Parungkujang, yang masih kemenakan bupati. Tak ada rakyat yang berani melawan. Para jawara ini ditakuti seluruh rakyat. Siapa yang berani melawan ketajaman golok mereka.
Pemerasan ini terjadi terus dan terus. Hingga akhirnya Ayah Saijah tak punya apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diperas oleh Demang Parangkujang.
Ibu Saijah terpukul atas perlakuan semena-mena ini. Dia sakit lalu meninggal. Sepeninggalan istrinya, ayah Saijah pun stres. Dia lari dari kampung. Tak kuasa membayangkan betapa menakutkan kemarahan sang Demang jika dirinya tak bisa membayar pajak. Ayah Saijah tak pernah kembali.
Dalam kesedihan, Saijah tumbuh menjadi seorang pemuda. Dia menjalin kasih dengan Adinda, sahabatnya sejak kecil.
Saijah lalu pergi ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan pada seorang Belanda. Dia mengumpulkan uang untuk kelak melamar Adinda.
Setelah bertahun-tahun Saijah kembali ke kampungnya. Namun bukan cinta, tetapi kekecewaan yang menunggunya. Saijah mendapati Adinda dan ayahnya sudah tak ada di kampung itu. Ayah dan anak itu lari karena tak bisa membayar pajak dari penguasa.
Kabar beredar, Adinda dan ayahnya bergabung untuk melawan tentara Belanda di Lampung. Saijah mencoba pun menapaki jejak mereka. Diseberanginya lautan, namun pencarian ternyata berbuah pahit.
Dalam sebuah pertempuran dia menemukan Adinda sudah meninggal. Tubuhnya penuh luka dan diperkosa tentara Belanda.
Melihat itu, Saijah mengamuk. Pemuda putus asa ini berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Dia menghujamkan tubuhnya pada bayonet serdadu yang tajam.
Adinda dan Saijah tewas. Cinta mereka yang dulu pernah diikrarkan tak pernah bersatu. Keduanya rakyat miskin korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan pejabat dari bangsa mereka sendiri.
Kisah ini menjadi bacaan wajib untuk anak sekolah di Eropa. Mengingatkan manusia agar tak semena-mena pada sesama. Bahwa penindasan hanya akan membuahkan perlawanan.
Sayangnya pejabat Banten rupanya justru meniru polah Demang Parangkujang.
Begitulah kisah Saija dan Adinda yang sekarang dijadikan ikon duta kebudayaan dan pariwisata Kab. Lebak.
Demi Orang-orang Rangkasbitung
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.
Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.
Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.
Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?
Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.
Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?
Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.
Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.
Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.
Bojong Gede, 5 Nopember 1990
Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Tidak ada komentar:
Posting Komentar