Sabtu, 03 Januari 2015

Saija Adinda Lebak

Waktu saya Sekolah di SMAN 1 Rangkasbitung, ada suatu momen yang setiap tahun selalu diadakan oleh sekolah saya yaitu seleksi kandidat pasangan calon Saija Adinda Lebak yang akan mewakili sekolah saya ke tingkat kabupaten.
Pasangan Saija Adinda ini nantinya akan menjadi duta pariwisata Kab. Lebak yang akan mempromosikan kebudayaan dan pariwisata di Kab. Lebak ke dunia luar.
Peserta yang mengikuti seleksi saija adinda ini berusia setara SMA sampai sekitar berusia 20 tahun. Boleh perwakilan sekolah atau juga mendaftar secara pribadi.

Siapa sih Saija dan Adinda?? Mengapa dijadikan sosok yang disorot pentinga bagi Kab.Lebak?
Max Havelaar atau yang disebut dengan Multatuli menerangkan kisah Saija dan Adinda ini dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar.
Dia menuliskan kisah Saijah dan Adinda, salah satu bab yang membuka mata Eropa tahun 1860 betapa buruk sistem kolonial dan kemiskinan di Banten.

Periode tanam paksa yang digulirkan sejak tahun 1830 mencekik rakyat Banten. Penderitaan rakyat Banten ditambah polah adipati Lebak dan Demang Parangkujang yang sungguh memuakkan. Petani dibebani pajak tinggi. Mereka juga merampas ternak dan hasil bumi milik rakyat seenaknya. Para penguasa yang membuat hukum berdasarkan aturan mereka sendiri.

Para birokrat pribumi, adalah kuku kekuasaan kolonial di Banten. Lewat para penguasa pribumi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaan mereka di tanah jajahan.

Eduard Douwes Dekker membuka kisah itu dengan menggambarkan penderitaan petani Banten. Tentang Saijah kecil yang menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Sayangnya kebahagiaan itu tak lama.

Berkali-kali kerbau milik Saijah diambil paksa oleh Begundal-begundal suruhan Bupati Lebak dan Demang Parungkujang, yang masih kemenakan bupati. Tak ada rakyat yang berani melawan. Para jawara ini ditakuti seluruh rakyat. Siapa yang berani melawan ketajaman golok mereka.

Pemerasan ini terjadi terus dan terus. Hingga akhirnya Ayah Saijah tak punya apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diperas oleh Demang Parangkujang.

Ibu Saijah terpukul atas perlakuan semena-mena ini. Dia sakit lalu meninggal. Sepeninggalan istrinya, ayah Saijah pun stres. Dia lari dari kampung. Tak kuasa membayangkan betapa menakutkan kemarahan sang Demang jika dirinya tak bisa membayar pajak. Ayah Saijah tak pernah kembali.

Dalam kesedihan, Saijah tumbuh menjadi seorang pemuda. Dia menjalin kasih dengan Adinda, sahabatnya sejak kecil.

Saijah lalu pergi ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan pada seorang Belanda. Dia mengumpulkan uang untuk kelak melamar Adinda.

Setelah bertahun-tahun Saijah kembali ke kampungnya. Namun bukan cinta, tetapi kekecewaan yang menunggunya. Saijah mendapati Adinda dan ayahnya sudah tak ada di kampung itu. Ayah dan anak itu lari karena tak bisa membayar pajak dari penguasa.

Kabar beredar, Adinda dan ayahnya bergabung untuk melawan tentara Belanda di Lampung. Saijah mencoba pun menapaki jejak mereka. Diseberanginya lautan, namun pencarian ternyata berbuah pahit.

Dalam sebuah pertempuran dia menemukan Adinda sudah meninggal. Tubuhnya penuh luka dan diperkosa tentara Belanda.

Melihat itu, Saijah mengamuk. Pemuda putus asa ini berlari ke arah sekumpulan tentara Belanda yang menghunus bayonet. Dia menghujamkan tubuhnya pada bayonet serdadu yang tajam.

Adinda dan Saijah tewas. Cinta mereka yang dulu pernah diikrarkan tak pernah bersatu. Keduanya rakyat miskin korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan pejabat dari bangsa mereka sendiri.

Kisah ini menjadi bacaan wajib untuk anak sekolah di Eropa. Mengingatkan manusia agar tak semena-mena pada sesama. Bahwa penindasan hanya akan membuahkan perlawanan.

Sayangnya pejabat Banten rupanya justru meniru polah Demang Parangkujang.

Begitulah kisah Saija dan Adinda yang sekarang dijadikan ikon duta kebudayaan dan pariwisata Kab. Lebak.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2v_BV9_r-CZ_Re3zq9ydXqtqs1iU5DrXLg3uVJbFTlAHHrKZS0MreDUJPRKrzuubzojUwAdCLGUD_fnP9YG2kbQ0f0rzW0ya4aIXiZVpI97EKTdtmhZj8aWBT6wutkipu-lCPC8giMMcf/s1600/111_4980.JPG
Demi Orang-orang Rangkasbitung Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Salam sejahtera! Nama saya Multatuli Datang dari masa lalu. Dahulu abdi Kerajaan Belanda, ditugaskan di Rangkasbitung, ibukota Lebak saat itu. Satu pengalaman penuh ujian. Rakyat ditindas oleh bupadi mereka sendiri. Petani hanya bisa berkeringat, tidak bisa tertawa, dan hak pribadi diperkosa. Demi kepentingan penjajahan, Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini. Sia-sia saya mencegahnya. Kalah dan tidak berdaya. Saya telah menyaksikan bagaimana keadilan telah dikalahkan oleh para penguasa dengan gaya yang anggun dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka. Dengan bahasa yang rapi mereka keluarkan keputusan-keputusan yang tidak adil terhadap rakyat. Serta dengan budi bahasa yang halus mereka saling membagi keuntungan yang mereka dapat dari rakyat yang kehilangan tanah dan ternaknya. Ya, semuanya dilakukan sebagai suatu kewajaran. Dan bangsa kami di negeri Belanda pada hari Minggu berpakaian rapi, berdoa dengan tekun. Sesudah itu bersantap bersama, menghayati gaya peradaban tinggi, bersama sanak keluarga, menghindari perkataan kotor, dan selalu berbicara dalam tata bahasa yang patut, sambil membanggakan keuntungan besar di dalam perdagangan kopi, sebagai hasil yang efisien dari tanam paksa di tanah jajahan. Dengan perasaan mulia dan bangga kami berbicara tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan. Ya, begitulah. Kami selalu mencuci tangan sebelum makan dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami. Dengan kemuliaan yang sama pula ketika kami memerintahkan para marsose agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Java yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka! Ya, kami adalah bangsa yang tidak pernah lupa mencuci tangan. Kita bisa menjadi sangat lelah apabila merenungkan gambaran kemanusiaan dewasa ini. Orang Belanda dahulu juga mempunyai keluh kesah yang sama apabila berbicara tentang keadaan mereka di zaman penjajahan oleh Spanyol. Mereka memberi nama yang buruk kepada Pangeran Alba yang sangat menindas. Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik dari Pangeran yang jahat itu? Tentu tidak hanya saya yang merasa gelisah terhadap dawat hitam yang menodai iman kita. Pikiran yang lurus menjadi bercela karena tidak pernah bisa tuntas dalam menangani keadilan. Sementara waktu terus berjalan dan terus memperlihatkan keluasan keadaannya. Kita tidak bisa seimbang dalam menciptakan keluasan ruang di dalam pemikiran kita. Memang kita telah bisa berpikir lebih canggih dan kompleks, tetapi belum bisa lebih bebas tanpa sekat-sekat dibanding dengan keluasan waktu. Bagaimana keadilan bisa ditangani dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat? Ya, saya rasa kita memang lelah. Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini. Bukankah keadaan keadilan di sini belum lebih baik dari zaman penjajahan? Dahulu rakyat Rangkasbitung tidak mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati Lebak. Sekarang apakah rakyat kecil sudah mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati-adipati masa kini? Dahulu Adipati Lebak bisa lolos dari hukum. Sekarang Adipati-adipati yang kejam dan serakah apakah sudah bisa dituntut oleh hukum? Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu adalah kemerdekaan negara dan bangsa? Negara anda sudah merdeka. Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka? Apakah bangsa tanpa hak hukum bisa disebut bangsa merdeka? Para pemimpin negara-negara maju bisa menitikkan air mata apabila mereka berbicara tentang democratie kepada para putranya. Tetapi dari kolam renang dengan sangat santai dan penuh kewajaran mereka mengangkat telefoon untuk memberikan dukungan kepada para tiran dari negara lain demi keuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri. Oh! Ya, Tuhan! Saya mengatakan semua ini sambil merasakan rasa lemas yang menghinggapi seluruh tubuh saya. Saya mencoba tetap bisa berdiri meskipun rasanya tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya. Saya sedang melawan perasaan sia-sia. Saya melihat negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi. Dan sebagai hasilnya banyak rakyat dari dunia berkembang kehilangan tanah mereka, supaya orang kaya bisa main golf, atau supaya ada bendungan yang memberikan sumber tenaga listrik bagi industri dengan modal asing. Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan, mendapat ganti rugi untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya dengan uang yang sama nilainya dengan satu pak sigaret bikinan Amerika. Barangkali kehadiran saya sekarang mulai tidak mengenakkan suasana? Keadaan ini dulu sudah saya alami. Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah? Tetapi ingat: sementara sejarah selalu melahirkan masalah ketidakadilan, tetapi ia juga selalu melahirkan orang seperti saya. Menyadari hal ini tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, kita sama-sama memahami sejarah. Senang atau tidak senang ternyata tuan-tuan tidak bisa meniadakan saya. Nama saya Multatuli saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar. Juga bukan benteng yang bisa dihancurleburkan. Saya Multatuli: sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri. Oleh karena itu saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, apabila ada keadaan yang celaka, apakah perlu ditambah celaka lagi? Pada intinya inilah pertanyaan sejarah kepada anda semua. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang hadir di sini, setelah memahami sejarah, saya betul tidak lagi merasa sepi. Dan memang tidak relevan lagi bagi saya untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia, sebab jelaslah sudah kewajiban saya. Ialah: hadir dan mengalir. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, terima kasih. Bojong Gede, 5 Nopember 1990

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

Tidak ada komentar:

Posting Komentar