RANGKASBITUNG – Hari itu, 22 Januari 1857,
langit Rangkasbitung dihiasi awan putih bersemu kelabu ketika seorang
Belanda yang ditugaskan sebagai Asisten Residen di Kabupaten Lebak
berpidato. Puluhan orang berbaju rapih, duduk berjajar teratur menghadap
sang Asisten Residen yang baru dilantik itu. Suasana takzim terpancar
dari roman muka hadirin, terlebih dari sinar mata Asisten Residen yang
memulai pidatonya.
”Tapi saya lihat, bahwa rakyat
tuan-tuan miskin, dan itulah yang ”menggembirakan” hati saya…. Katakan
kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning
seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah
banyak kekeliruan di negeri tuan?”
Demikianlah tukilan pidato Eduard Douwes Dekker alias Multatuli alias
Max Havelaar di hadapan para petinggi Kabupaten Lebak. Pidato yang
kritis itu dilakukan di serambi kantor di Rangkasbitung, sehari setelah
pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.
Pernyataan kegembiraan Douwes Dekker mengenai banyaknya rakyat miskin
di Kabupaten Lebak bermakna sebagai sindiran halus, bagi para petinggi
di Rangkasbitung. Melalui sindiran itu, dia berharap terjadi perubahan
kinerja di kalangan pemerintahan di Rangkasbitung, yang saat itu
terkenal korup.
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra
dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun,
ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran
pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh
dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan
pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.
Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi
yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan
menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan
para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya.
Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.
Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen
dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta
agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres
tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut,
timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya
meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan
keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan
bupati Cianjur
ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian
membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan
kepada rakyat.
Tingginya pajak, panen yang selalu gagal, kesenjangan ekonomi-sosial
yang lebar dan menurunnya produksi ternak, menjadi sebuah keniscayaan
yang tak terelakkan bagi penduduk Rangkasbitung, dan Lebak pada umumnya.
Korupsi besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan kala itu, pun
semakin menurunkan standar hidup penduduk. Situasi ini juga dialami di
hampir seluruh daerah di Banten. Sehingga, pada masa selanjutnya,
beberapa faktor pemiskinan tersebut, menjadi pemicu gerakan perlawanan
terhadap pemerintahan kolonial.
Begitulah kondisi umum Kabupaten Lebak di zaman kolonial, yang
digambarkan secara gamblang oleh Douwes Dekker dalam novelnya ”Max
Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”. Benar, Douwes
Dekker tak pernah berhasil mengangkat taraf hidup penduduk Lebak lebih
baik; alih-alih, melalui sebuah konspirasi rivalnya, ia difitnah dan
berhasil dicampakkan dari jabatannya sebagai Asisten Residen. Namun
demikian, kendati dia seorang pegawai kolonial, semangatnya untuk
melakukan perubahan dan meningkatkan taraf hidup penduduk Lebak, menjadi
contoh yang patut ditiru.
Rangkasbitung dan Revolusi Indonesia
Kemiskinan telah menjadi keseharian penduduk Lebak. Dan dampaknya
dari faktor itu pula, sifat radikalisme terbangunkan. Sejak
pemberontakan komunis 1926, Rangkasbitung sebagai ibukota Lebak, menjadi
kota terpenting kedua di Banten setelah Serang. Kota ini selalu
dijadikan basis pergerakan politik para tokoh revolusioner Banten.
Pada Juni 1945 misalnya, menjelang menyerahnya Jepang, beberpa pemuda
Banten yang tergabung dalam Badan Pembantu Keluarga Peta (BPP) dan
beberapa unsur pemuda lainnya, mengadakan sebuah pertemuan rahasia di
kediaman Tachril, di Rangkasbitung. Pertemuan yang disponsori oleh BPP
itu, dilakukan untuk membicarakan kemungkinan kemerdekaan Indonesia
pasca menyerahnya Jepang dan memilih wakil Banten untuk menghadiri
konferensi pemuda di Jakarta pada 9 Agustus 1945.
BPP adalah sebuah organisasi sosial yang memberikan bantuan kepada
keluarga dari prajurit-prajurit Peta dan Heiho yang sudah meninggal.
Organisasi ini menerbitkan dua kali sebulan majalahnya, dengan nama
Pradjurit. Majalah ini dipimpin oleh Oto Iskandardinata dan Sjamsudin
Sutan Makmur (Nugroho Notosusanto: 1979).
Dalam pertemuan Rangkasbitung itu, hadir pula Tan Malaka, tokoh
pergerakan yang ketika berada di Banten mengubah namanya menjadi Ilyas
Husein. Sebagian besar pemuda yang hadir dalam pertemuan, menyatakan
akan memutuskan setiap hubungan kerjasama dengan Jepang dan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil lainnya
berpendapat, masih perlu menjalin kerjasama dengan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia.
Di tengah hiruk pikuk perdebatan, Tan Malaka mengemukakan
pendapatnya, supaya perbedaan taktis itu hendaknya diselesaikan di
konferensi Jakarta saja. Kemudian Tan Malaka menambahkan, bahwa perlu
dibentuk sebuah organisasi sendiri dengan pemimpinnya sendiri yang sama
sekali tak berhubungan dengan Jepang. Akhirnya pertemuan diakhiri dengan
memilih Tan Malaka sebagai wakil Banten. Selain itu, terpilih juga enam
orang radikal lainnya, Tje Mamat adalah salah satunya.
Pertemuan Rangkasbitung tersebut jarang disebut, dalam sejarah
Indonesia, kecuali dicatat dalam laporan Tan Malaka, yang kemudian
dikutip oleh Harry A. Poeze dalam bukunya ”Pergulatan Menuju Republik:
Tan Malaka 1925-1945”. Pertemuan Rangkasbitung itu, diyakini menjadi
tonggak awal beberapa peristiwa lain yang mewarnai kondisi politik
Banten selama periode awal revolusi.
Dewan Perwakilan dan Terbunuhnya Bupati R.T. Hardiwinangun
Hubungan tokoh-tokoh revolusioner di Banten dengan Tan Malaka pada
periode Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, terjalin dengan
dekat. Tokoh besar yang riwayatnya diselubungi misteri itu berhasil
menanamkan pengaruh kuat dikalangan tokoh-tokoh tersebut. Didirikannya
Dewan Rakyat oleh Tje Mamat diyakini, oleh karena anjuran Tan Malaka
kepada segenap eksponen perjuangan di Banten, untuk mendirikan sebuah
organisasi yang bertujuan demi kemerdekaan rakyat semata.
Kekacauan politik dan kekosongan pemerintahan, menyebabkan munculnya
tindakan-tindakan beberapa kelompok politik, khususnya veteran
pemberontakan 1926, untuk membalaskan dendam mereka kepada pejabat
pemerintah, polisi dan orang-orang Belanda. Suasana revolusi yang
euforistik mendorong kaum ulama mengambil alih kepemimpinan. Atas dasar
itulah K.H. Achmad Chatib diangkat sebagai residen Banten. Kendati
demikian, pemerintahan yang baru itu tak dapat segera mengendalikan
keadaan. Pembunuhan tetap terjadi dimana-mana.
Di pihak lain, Tje Mamat dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya semakin
leluasa bergerak, bahkan dalam level tertentu mereka menjelma, menjadi
penguasa Banten yang sesungguhnya. Tujuan mereka hanyalah satu: mencapai
kemerdekaan rakyat Indonesia yang hakiki. Hubungan Dewan Rakyat dengan
Pemerintahan Pusat RI di Jakarta yang renggang, membuat gusar Presiden
Soekarno. Beberapa media massa di Jakarta memberitakan bahwa Banten,
dibawah kendali Dewan Rakyat akan memisahkan diri dari Republik. Aksi
bersenjata untuk membubarkan Dewan Rakyat pun dilakukan oleh TKR, Namun
hal itu tak semudah yang diperkirakan pemerintah Jakarta. Dewan Rakyat
tetap berkuasa.
Hingga akhirnya, Presiden Soekarno disertai Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo, mengunjungi Serang dan
Rangkasbitung pada tanggal 9-12 Desember 1945. Dalam pidatonya di
Rangkasbitung, Bung Karno mengatakan, bahwa kedaulatan rakyat jangan
ditafsirkan secara harfiah. Adalah penting untuk menjaga persatuan
nasional dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Bung Hatta yang
terkenal pendiam pun turut bicara, ia mengatakan, bahwa Dewan Rakyat tak
berguna dan harus dibubarkan.
Ketika Bung Karno dan Bung Hatta berada di Rangkasbitung, beberapa
anggota Dewan Rakyat menculik dan membunuh Bupati Lebak R.T.
Hardiwinangun di daerah Cisiih. Para penculik datang kepadanya dengan
mengaku sebagai utusan Presiden Soekarno. Peristiwa pembunuhan itu tidak
lain bertujuan untuk menunjukkan kepada Presiden Soekarno, bahwa Dewan
Rakyat tidak main-main dengan tujuannya. Tetapi pada akhirnya Dewan
Rakyat dibubarkan, dan para pembunuh Bupati R.T. Hardiwinangun berhasil
ditangkap. Banten tetap menjadi bagian integral Republik Indonesia.
Setitik Rangkasbitung dalam Belanga Sejarah Indonesia
Seluruh rangkaian peristiwa tersebut, menunjukkan pergolakan sejarah
yang pernah terjadi di Banten, khususnya di Rangkasbitung sebagai salah
satu kotaterpenting dalam aktivitas politik di Banten. Rangkasbitung
dengan segala kekurangan dan kelebihannya memiliki posisi yang sangat
penting dalam sejarah Indonesia. Kendati hanya sebuah kota kecil,
Rangkasbitung, atau Kabupaten Lebak dalam skala yang lebih luas,
merupakan memorabilia perjuangan bangsa yang sudah selayaknya
diperkenalkan ke segala penjuru Indonesia, bahkan dunia.
Oleh karena itu, penting bagi segenap komponen masyarakat di
Kabupaten Lebak untuk bersama-sama mengambil hikmah dari sejarah dan
mewarisi serta memaknai sifat radikalisme rakyat Banten dalam bingkai
transformasi yang progresif. Penggalan kisah diatas, merupakan rekreasi
ke masa lampau yang bertujuan merefleksikan kembali berbagai hal dimasa
lalu, sehingga kita bersama dapat mengambil pelajaran serta melakukan
kritik dan otokritik bagi diri kita, sebagai bagian dari sejarah
Rangkasbitung.
Sejarah ibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP kita takkan
memiliki identitas, yang tentu akan sangat merepotkan. Begitu pula
sejarah, tanpa seorang individu atau sekelompok masyarakat, bagaikan
kehilangan ingatan (amnesia) dan tak memiliki jati diri. Dan
Rangkasbitung, adalah seumpama satu pilar penyanggga bangunan sejarah
Indonesia. Menghilangkan peran Rangkasbitung dalam sejarah Indonesia,
sama halnya dengan meruntuhkan bangunan sejarah itu sendiri.
Sejalan dengan semua itu, Rangkasbitung sebagai salah sebuah kota
bersejarah, menyimpan berbagai memori penting dalam kaitannya dengan
sejarah Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga awal kemerdekaan,
Rangkasbitung terkenal sebagai salah satu pusat radikalisme rakyat
Banten. Selain beberapa peristiwa penting, juga banyak tokoh nasional
yang dilahirkan atau mengawali karirnya di kota ini.
Bagi Benjamin Mangkoedilaga misalnya, mantan hakim agung yang
terkenal karena keberaniannya memutus TEMPO tak bersalah dalam kasus
pembredelan tahun 1994, Rangkasbitung adalah sebuah kota yang memberinya
inspirasi. Dari kota ini pula ia memulai kesuksesannya sebagai hakim.
Oleh karena itu, untuk mengenang kembali pergaulannya dengan
Rangkasbitung, ia menulis sebuah buku dengan judul ”Dari Alun-alun Timur
Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara”.
Wajar jika W.S. Rendra menciptakan sebuah puisi ”Doa Pemuda
Rangkasbitung Rotterdam”, dan harapan ribuan warga lainnya: semoga tak
ada lagi ketimpangan sosial-ekonomi yang mendera, tak ada lagi
kemiskinan yang meililit dan tak ada lagi korupsi yang merajalela.a
Source :
http://inspektorat.lebakkab.go.id/2014/04/sejarah-lahirnya-kota-rangkasbitung-lebak-banten/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker#Pindah_ke_Lebak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar